Pendahuluan: Suara Kritis dari Dalam Lingkaran Kekuasaan
pttogel Dalam pusaran politik nasional yang semakin riuh dan kompleks, muncul sebuah suara yang kembali menyentak kesadaran publik: Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN dan tokoh pers nasional, melontarkan kritik tajam terhadap institusi yang dahulu sempat menjadi bagian dari kehidupannya—yakni kekuasaan negara atau yang ia sebut sebagai “istananya sendiri.”
Pernyataan dan sikap kritis Dahlan ini sontak menarik perhatian banyak kalangan. Tak hanya karena ia dikenal sebagai birokrat reformis yang bersih, tetapi juga karena keberaniannya dalam mengungkapkan kegelisahan atas berbagai keputusan dan praktik yang menurutnya tidak mencerminkan semangat reformasi dan keadilan sosial.
Latar Belakang: Dahlan Iskan dan Rekam Jejaknya
Nama Dahlan Iskan bukanlah sosok asing di Indonesia. Sebelum memasuki dunia pemerintahan, ia dikenal luas sebagai tokoh media yang memimpin grup Jawa Pos dan menciptakan imperium pers nasional yang kuat. Saat dipercaya memimpin PLN, dan kemudian Kementerian BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia memperlihatkan gaya kepemimpinan yang tegas, cepat, dan berani mengambil risiko.
Namun, seiring berjalannya waktu, Dahlan mulai jarang tampil dalam sorotan publik—hingga akhirnya muncul kembali melalui tulisan-tulisan kritis di blog pribadinya dan berbagai media. Dalam salah satu tulisannya yang paling kontroversial, ia menyebut bahwa saat ini “istana telah kehilangan arah” dan mengabaikan aspirasi rakyat kecil. Kata “menggugat istananya sendiri” menjadi simbol bahwa seorang mantan insider kini menantang sistem yang dahulu ia bela dan perjuangkan dari dalam.
baca juga: menkomdigi-kehadiran-internet-di-pelosok-ri-bentuk-keadilan-sosial
Isi Gugatan: Kritik terhadap Otoritarianisme dan Polarisasi Politik
Dalam beberapa pernyataan dan kolomnya, Dahlan menyoroti sejumlah isu utama yang menjadi kegelisahan publik, antara lain:
1. Pengabaian terhadap Demokrasi dan Kritik
Menurut Dahlan, pemerintahan saat ini terlalu alergi terhadap kritik. Suara-suara berbeda, baik dari masyarakat sipil, akademisi, maupun tokoh agama, sering kali dibungkam atau dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas. Ia menyebut bahwa semangat demokrasi yang tumbuh pascareformasi 1998 perlahan mulai terkikis oleh watak otoritarian yang merayap secara halus namun nyata.
2. Kepentingan Elit Mengalahkan Kepentingan Rakyat
Dahlan juga mengkritik bahwa istana kini lebih sibuk menjaga kepentingan elit kekuasaan daripada menyentuh kebutuhan rakyat. Ia menyindir berbagai proyek besar seperti pembangunan ibu kota baru yang menurutnya kurang mendesak, sementara rakyat masih bergelut dengan masalah pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan yang akut.
3. Politik Dinasti dan Keterlibatan Keluarga dalam Kekuasaan
Salah satu kritik paling keras adalah terkait munculnya praktik politik dinasti. Dahlan menyebut bahwa bangsa ini seolah “mengulang sejarah lama yang sudah ditinggalkan,” di mana kekuasaan diturunkan secara tak langsung lewat jaringan keluarga, bukan lewat mekanisme meritokrasi dan demokrasi sehat.
Respons Publik: Simpati dan Polemik
Pernyataan Dahlan ini tentu menuai berbagai reaksi. Sebagian publik menyambutnya sebagai angin segar di tengah kemonotonan kritik politik yang sering kali partisan. Banyak yang merasa bahwa Dahlan menyuarakan apa yang selama ini dirasakan oleh rakyat biasa, namun enggan atau takut untuk mengatakannya secara terbuka.
Namun tak sedikit pula yang menilai sikap Dahlan sebagai bentuk “kekecewaan pribadi” karena tidak lagi berada di lingkar kekuasaan. Kritik seperti ini datang dari sebagian pendukung pemerintah yang menilai bahwa Dahlan “tak seharusnya membakar jembatan yang pernah ia lewati.”
Dahlan Iskan dan Gaya Kritiknya yang Elegan
Berbeda dari tokoh lain yang cenderung meledak-ledak, gaya kritik Dahlan lebih subtil namun tajam. Ia menggunakan pendekatan naratif, gaya bertutur khas wartawan, dan analogi yang membuat pembacanya merenung. Misalnya, dalam satu tulisannya ia mengatakan: “Rakyat sedang haus keadilan, tapi yang dituangkan adalah proyek mercusuar yang menegaskan bahwa air hanya mengalir ke atas.”
Bagi banyak pembaca, gaya ini justru lebih menyentuh karena tidak menyerang pribadi, melainkan sistem dan kebijakan.
Penutup: Menggugat untuk Menyelamatkan
Apakah Dahlan Iskan benar-benar menggugat istananya sendiri? Bisa jadi. Tapi lebih dari itu, kritiknya bisa dipahami sebagai bentuk kepedulian seorang negarawan yang merasa bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya.
Dahlan bukan hanya sekadar mantan menteri atau mantan pemimpin media. Ia adalah simbol dari keberanian untuk tetap berpikir kritis di tengah tekanan, serta komitmen untuk menjaga idealisme walau tak lagi memiliki kekuasaan formal.
Di tengah iklim politik yang makin sensitif dan tertutup terhadap kritik, suara seperti Dahlan Iskan adalah pengingat bahwa demokrasi tumbuh bukan dari pujian, tetapi dari keberanian untuk mengoreksi.
sumber artikel: www.september2018calendar.com