Jakarta — pttogel Rencana pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang akan menaikkan tarif ojek online (ojol) sebesar 8-15 persen menuai penolakan keras dari berbagai asosiasi, baik yang mewakili pengemudi maupun konsumen. Kenaikan tarif ini dinilai tidak tepat waktu dan justru berpotensi memicu gejolak baru di sektor transportasi online yang kini sedang berjuang untuk pulih dari dampak ekonomi pascapandemi dan tekanan harga bahan bakar.
Rencana Kenaikan Tarif Ojol 2025
Kemenhub melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat menyatakan bahwa penyesuaian tarif ini dilakukan dengan mempertimbangkan peningkatan biaya operasional, inflasi tahunan, dan usulan dari pelaku industri. Menurut rencana, tarif batas bawah ojol akan naik sekitar 8 persen, sementara batas atas bisa melonjak hingga 15 persen, tergantung pada zona operasional (zona I, II, atau III yang mencakup wilayah berbeda di Indonesia).
Namun, wacana ini langsung mengundang protes dari berbagai pihak yang merasa kebijakan tersebut tidak melalui kajian yang mendalam terhadap dampak di lapangan.
Penolakan dari Asosiasi Pengemudi
Salah satu suara keras datang dari Asosiasi Driver Online (ADO) yang menyebut bahwa meskipun secara nominal tarif naik, tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Menurut Ketua ADO, Fery Irawan, yang ditemui di Jakarta pada Senin (1/7), “Kenaikan ini tidak otomatis masuk ke kantong pengemudi. Persentase pembagian dengan aplikator belum berubah, justru dikhawatirkan aplikator akan menaikkan potongan atau membuat promo yang tetap merugikan mitra.”
baca juga: tangan-sering-dingin-ini-penjelasan-medisnya
Ia menambahkan bahwa pengemudi lebih membutuhkan kepastian pendapatan dan regulasi yang melindungi hak mereka, bukan hanya tarif yang naik di atas kertas. “Yang kami butuhkan adalah sistem yang adil, bukan sekadar tarif naik. Karena kenyataannya di lapangan, banyak driver yang tetap kesulitan meski tarif dinaikkan,” ungkapnya.
Penolakan dari Pihak Konsumen
Tak hanya pengemudi, pihak konsumen yang diwakili oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menyampaikan keberatannya. YLKI menilai kenaikan ini sangat membebani konsumen yang kini masih bergelut dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya.
Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, menegaskan bahwa kenaikan ini seharusnya ditunda. “Transportasi online sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat urban. Jika tarif naik di tengah kondisi daya beli yang melemah, maka pengguna bisa beralih ke moda transportasi lain atau bahkan berhenti menggunakan ojol,” kata Tulus.
YLKI juga mempertanyakan transparansi dan metode penentuan kenaikan tarif. “Apakah sudah ada survei menyeluruh di kalangan pengguna dan pengemudi? Apakah sudah dihitung dampak jangka panjang terhadap mobilitas masyarakat dan ekonomi digital?” tambahnya.
Aplikator Cenderung Diam
Menariknya, para penyedia layanan ojol seperti Gojek dan Grab belum banyak bersuara mengenai kebijakan ini. Beberapa analis menilai bahwa aplikator sebenarnya berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka ditekan untuk menjaga keseimbangan antara pendapatan mitra pengemudi dan loyalitas pengguna. Di sisi lain, kenaikan tarif bisa memicu penurunan transaksi secara drastis, terutama untuk layanan jarak pendek.
Salah satu sumber internal dari perusahaan aplikator yang enggan disebutkan namanya menyebut, “Kenaikan tarif terlalu cepat bisa membebani ekosistem kami. Kami harus melihat efek jangka panjang dan perilaku pengguna.”
Ekonom: Kenaikan Harus Bertahap
Pengamat ekonomi transportasi dari Universitas Indonesia, Dr. M. Satria Nugraha, menyatakan bahwa pemerintah seharusnya mengambil pendekatan yang lebih bertahap. “Kenaikan 8-15 persen secara serentak akan mengejutkan pasar. Apalagi ini tidak disertai insentif bagi pengemudi atau subsidi silang bagi konsumen,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, pengemudi, aplikator, dan konsumen sebelum kebijakan semacam ini diterapkan. “Jangan sampai keputusan sepihak justru merusak ekosistem transportasi digital yang selama ini berkembang pesat,” tambahnya.
Kesimpulan: Polemik Masih Panjang
Rencana kenaikan tarif ojol ini jelas memicu polemik besar di masyarakat. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menyesuaikan tarif dengan realita biaya operasional yang terus naik. Namun di sisi lain, tanpa regulasi yang jelas dan pembagian yang adil, kenaikan tarif ini justru bisa menjadi bumerang, baik bagi pengemudi maupun konsumen.
Pemerintah diharapkan membuka ruang dialog yang luas agar kebijakan ini benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan, bukan sekadar kebijakan di atas kertas. Yang dibutuhkan saat ini adalah solusi menyeluruh, bukan sekadar angka yang dinaikkan tanpa jaminan kesejahteraan.
sumber artikel: www.september2018calendar.com